Pria yang Lahir di Desa Kecil Wonosobo Ini Malang Melintang Meniti Karir, Hingga Akhirnya Sukses!
SB30 – Sahabat entrepreneur, salam hebat luar biasa! Selamat datang di channel Success Before 30. Kita kembali ke segmen baru saya, tentang sebuah motivasi yang menggetarkan jiwa anda, yaitu “secangkir kopi bagi jiwamu”.
Kami akan mengajarkan kepada anda bagaimana jiwa yang terpuruk dengan kisah-kisah orang sukses yang saya percaya sebenarnya kondisi mereka sebelumnya tidak jauh lebih baik dari anda. Namun yang kita pelajari disini adalah bagaimana cara mereka sampai bisa berhasil seperti saat ini.
Tentunya di Indonesia ini, kita tidak asing lagi mendengar brang pelopor air minum nomor satu di Indonesia yang sudah ada di Indonesia sejak tahun 70-80’an, yaitu Aqua. Apakah kalian tahu brand ini?
Kalian pasti tahu bahwa brand ini merupakan produk air mineral yang paling laris di Indonesia. Akan tetapi, apakah anda tahu kisah sulit di balik brand ini? Kisah yang sama sekali tidak pernah kalian dengar. Mungkin yang kalian tahu hanyalah sebuah produk sudah jadi yang sebenarnya telah melewati ribuan tangisan, kesedihan dan keringat yang tidak bisa dibayar dengan uang.
Kisah ini menceritakan tentang seorang pria bernama almarhum Tirto Utomo. Seorang pria yang telah menciptakan merek air mineral paling laris di Indonesia sampai saat ini.
Beliau lahir pada tanggal 9 Maret 1930 di Wonosobo, Jawa Tengah. Saat masih kecil, beliau menjalani hidupnya yang sangat keras. Ketika beliau duduk di bangku SMP, beliau harus naik sepeda sejauh 60 km dari rumahnya ke sekolah karena kala itu di Wonosobo belum ada SMP sehingga beliau harus bersekolah di Magelang yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya.
Orang tua bapak Tirto memiliki usaha susu sapi dan pedagang ternak yang bisa dikatakan lumayan sukses untuk membiayai pendidikan Tirto. Setelah lulus SMP, Pak Tirto melanjutkan pendidikannya di HBS Semarang. HBS adalah sekolah setingkat SMA di zaman Hindia Belanda saat itu.
Masa remaja Pak Tirto dihabiskan di Malang. Dan disitulah ia bertemu dengan seorang wanita bernama Lisa. Disanalah kisah cinta mereka berdua dimulai. Namun seperti lazimnya sekolah Katolik pada zaman tersebut, sekolah untuk murid perempuan dan laki-laki harus dipisah. Jadi, mereka berdua hanya sempat bertemu di lapangan sekolah.
Setelah lulus SMA, bapak Tirto pindah ke Surabaya untuk kuliah di salah satu Universitas ternama. Beliau mengisi waktu luangnya dengan menjadi wartawan Jawa Pos dengan tugas khusus meliput berita-berita pengadilan. Namun karena jadwal kuliah yang tidak menentu selama 2 tahun, akhirnya Tirto pindah ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Di Jakarta sambil kuliah ia bekerja sebagai Pimpinan Redaksi harian Sin Po dan majalah Pantja Warna.
Tidak lama kemudian, beliau menikah dengan kekasihnya di masa SMA dulu yang bernama Lisa pada tanggal 21 Desember 1957 di Malang. Kisah cinta yang berawal dari bangku SMA ternyata membawanya sampai ke pelaminan. Namun, perjalanan hidup bapak Tirto tidak selalu mulus.
Musibah datang pada tahun 1959. Tirto diberhentikan sebagai pemimpin redaksi Sin Po.
Akibatnya, sumber keuangan keluarga menjadi sulit dan tidak jelas. Namun, akibat peristiwa itulah yang membuat Tirto Utomo memiliki tekad yang bulat untuk menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum UI.
Sementara istrinya, Lisa berperan sebagai pencari nafkah yaitu dengan mengajar dan membuka usaha catering. Bapak Tirto sendiri belajar dan juga ikut membantu istrinya. Pada Oktober 1960 Tirto Utomo berhak menyandang gelar Sarjana Hukum. Setelah lulus, Tirto Utomo melamar ke Permina (Perusahaan Minyak Nasional) yang merupakan cikal bakal Pertamina.
Setelah diterima disana, ia ditempatkan di Pangkalan Brandan. Di sana, keperluan mandi masih menggunakan air sungai. Namun berkat ketekunannya, Tirto Utomo akhirnya menanjak karirnya sehingga diberi kepercayaan sebagai ujung tombak pemasaran minyak.
Beliau akhirnya diangkat sebagai Wakil Kepala Hukum dan Pemasaran Luar Negeri Permina. Kedudukan Tirto Utomo sebagai Deputy Head Legal dan Foreign Marketing membuat sebagian besar hidupnya berada di luar negeri.
Kemudian pada tahun 1971, bapak Tirto Utomo melakukan kontrak kerjasama dengan perusahaan Amerika Serikat. Namun negosiasi tersebut tidak berjalan mulus karena istri ketua delegasi mendadak mengalami diare karena mengonsumsi air yang tidak bersih. Tirto kemudian sadar bahwa tamu-tamunya yang berasal dari negara Barat tidak terbiasa meminum air sumur yang direbus, melainkan air yang telah disterilkan.
Karena peristiwa tersebut, beliau berpikir bagaimana caranya untuk menyediakan air mineral yang dikemas dengan steril dan dapat dikonsumsi oleh semua orang.
Ia lantas meminta adiknya, Slamet Utomo untuk magang di Polaris, sebuah perusahaan AMDK yang ketika itu telah beroperasi 16 tahun di Thailand untuk mempelajari bagaimana seluk beluk air mineral dalam kemasan.
Setelah adiknya kembali ke Indonesia, cikal bakal perusahaan Aqua didirikan dengan modal bersama adik iparnya, Slamet Utomo sebesar Rp 150 juta. Mereka mendirikan pabrik di Bekasi pada tahun 1973 dengan nama PT. Golden Mississippi dengan merek awal Aqua yang diberi nama Puritas.
Karyawan Pak Tirto awalnya berjumlah 38 orang dan mampu memproduksi 6 juta liter per tahun. Hal tersebut membuat Pak Tirto yakin bahwa perusahaannya akan maju sehingga ia rela keluar dari pekerjaannya yang mapan di Permina demi meneruskan perusahaan pribadinya dan fokus untuk meraih tujuannya. Yaitu menciptakan air mineral yang dikemas dengan steril dan dapat dikonsumsi oleh seluruh kalangan.
Pak Tirto dan adiknya kemudian menggali sumur di pabrik pertama yang dibangun di atas tanah seluas 7.110 meter persegi di Bekasi.
Tak lama kemudian, atas masukan dari Eulindra Lim, seorang konsultan Indonesia yang tinggal di Singapura mengusulkan untuk menggunakan nama Aqua karena cocok terhadap image air minum dalam botol serta tidak sulit untuk diucapkan dan mudah diingat selain bermakna ‘air’. Aqua sebenarnya bukan nama asing baginya. Tirto sendiri sering memakai nama samaran ‘A Kwa’ yang bunyinya mirip dengan ‘Aqua’ semasa masih menjadi pemimpin redaksi harian Sin Po dan majalah Pantja Warna di akhir tahun 1950.
Nama A Kwa sendiri diambil dari nama aslinya, yaitu Kwa Sien Biauw.
Sedangkan nama Tirto Utomo mulai dipakainya pada pertengahan tahun 1960-an yang tidak sengaja diambil yang berarti ‘air yang utama’. Saat itu, beliau merasa bahwa hal ini merupakan jawaban untuk nama produknya.
Setelah bekerja keras lebih dari setahun, produk pertama Aqua diluncurkan pada 1 Oktober 1974. Saat itu, minuman ringan berkarbonasi seperti Cola Cola, Sprite, 7 Up, dan Green Spot sedang naik daun sehingga gagasan menjual air putih tanpa warna dan rasa, bisa dianggap sebagai gagasan gila dan tidak masuk akal bagi masyarakat.
Hingga tahun 1978, penjualan Aqua belum berhasil memberi penjualan yang signifikan. Tak heran bila bapak Tirto Utomo sendiri mengakui hampir menutup perusahaannya karena sekitar lima tahun berdiri, namun belum juga menemui titik impas atau break even point yang bisa ia raih. Beliau tidak tahan harus menombok terus menerus agar perusahaan miliknya bisa tetap berdiri.
Namun ia percaya bajwa selalu ada rezeki bagi orang yang ulet dan tabah. Pada akhirnya, Tirto Utomo bersama manajemennya akhirnya mengeluarkan jurus pamungkas dengan menaikkan harga jual hampir tiga kali lipat.
Waktu itu ide ini bisa dibilang ide gila. Pasalnya dalam masa kesulitan keuangan, bukannya menurunkan harga agar perusahaannya bisa tetap survive, anamun justru menaikkan harga jual hampir tiga kali lipat.
Namun bapak Tirto sendiri sudah menyiapkan antisipasi apabila upaya tersebut akan menyebabkan penurunan omset. Siapa sangka, pasar berbicara lain. Omset bukannya menurun, namun justru terdongkrak naik. Pasalnya, orang menilai bahwa harga tinggi sama dengan kualitas tinggi. Aqua pun mulai melayani segmen yang tertarik untuk sistem berlangganan.
Pada tahun 1982, Aqua mengganti bahan baku air yang semula berasal dari sumur bor ke mata air pegunungan yang mengalir sendiri (self-flowing spring) karena dianggap mengandung komposisi mineral alami yang kaya nutrisi seperti kalsium, magnesium, potasium, zat besi, dan sodium.
Salah satu pelanggannya, yaitu kontraktor pembangunan jalan tol Jagorawi, Hyundai. Para insinyur Korea Selatan tersebut memiliki kebiasaan minum air mineral dalam kemasan, hingga akhirnya menular kepada rekan kerja pribumi mereka. Melalui penularan semacam itulah akhirnya air minum dalam kemasan mulai diterima di masyarakat luas.
Saya sendiri sejak kecil sudah terbiasa minum air sumur. Akan tetapi tak lama kemudian, saya mulai memahami kualitas air minum dalam kemasan. Produk aqua tidak pernah absen menjadi sponsor dalam ajang olahraga seperti SEA Games, Pekan Olahraga Nasional, BWF, hingga World Golf Competition 6yang digelar di Indonesia.
Aqua juga sudah mengisi berbagai iklan baik di Televisi, media cetak hingga radio. Tak mengherankan jika saat ini orang-orang menyebut air mineral sebagai ‘aqua’.
Tentunya tak ada yang menyangka, ide gila Bapak Tirto dalam ‘membotolkan’ air mineral yang tidak memiliki rasa dan warna serta menjualnya dengan harga yang lebih tinggi daripada bensin saat itu bisa sukses besar.
Penampilan Tirto Utomo sehari-hari sangat sederhana, ramah, murah senyum, namun cerdas dalam berpikir. Dalam hubungannya dengan bawahan, ia menganut gaya manajemen kekeluargaan dan mempercayai kemampuan karyawannya melalui sejumlah pengembangan dan pelatihan manajemen. Pada waktu itu, biaya pengemasan dapat mencapai 65% dari biaya produksi. Melihat itu, Tirto Utomo kemudian menyetujui ide Willy untuk menggabungkan pabrik botol dengan bisnis air mineralnya yang bernama PT. Tirta Graha Parama.
Saat ini, keluarga bapak Tirto Utomo bukan lagi pemegang saham mayoritas karena sejak tahun 1996 perusahaan makanan asal Prancis, Danone menguasai saham mayoritas, sedangkan saham keluarga tinggal 26 persen. Meskipun demikian, Willy Sidharta, yang merupakan anak kandung dari Tirto Utomo sendiri, memegang jabatan direktur dalam perusahaan tersebut.
Pilihan bergabung dengan perusahaan multinasional diakui membuat langkah Aqua semakin lincah. Ketatnya persaingan industri air mineral menuntut upaya-upaya agresif. Sejak itulah, terjadi perubahan besar dalam manajemen Aqua. Dalam produksi, Aqua juga melonjak tajam, dari 1 miliar liter sekarang mencapai 3,5 miliar liter. Aqua menguasai 40% pangsa pasar air mineral di dalam negeri.
Dalam biografi bapak Tirto Utomo, diketahui beliau meninggal dunia pada 16 Maret 1994 di usia 64 tahun. Akan tetapi, prestasi Aqua sebagai produsen air minum merek tunggal terbesar di dunia tetap bertahan hingga saat ini. Bapak Tirto Utomo juga dikenal sebagai salah satu pengusaha yang menarik dan terbaik hingga saat ini.
Sahabat entrepreneur, itulah sejarah di balik kisah sukses Aqua dan Bapak Tirto Utomo. Kesabaran dan keuletan beliau adalah kunci utamanya dalam membangun bisnis yang bisa sampai sebesar ini.
Semoga kisah beliau ini bisa menginspirasi anda dan bermanfaat untuk anda.
Silahkan anda share pada teman-teman anda. Mungkin mereka tidak mendapatkan pelajaran ini dari orang tuanya, namun mereka justru mendapatkannya dari channel ini. Untuk lebih lengkapnya, anda bisa baca di buku saya ‘Success Before 30’.
Semoga video kali bermanfaat. Sukses selalu, dan salam hebat luar biasa!!