Harga MOBILNYA Saja 50 MILIAR, Apalagi BISNISNYA ?! Ep. “BONGKAR!!” : Ajik Krisna (Part 1 of 3)
Harga MOBILNYA Saja 50 MILIAR, Apalagi BISNISNYA ?! Ep. “BONGKAR!!” : Ajik Krisna (Part 1 of 3)
Klik disini untuk melihat di YouTube
Sahabat entrepreneur, salam hebat luar biasa..!! Kali ini edisi spesial. Anda kalau jalan-jalan ke Bali, anda pasti ingat yang namanya Pusat Oleh-Oleh “KRISNA”. Hari ini, kita bertemu dengan owner’nya, yaitu yang kita panggil dengan sebutan Ajik.
C : “Selamat datang Ajik di channel kita, Success Before 30. Dan pada kesempatan kali ini, kita akan mendengarkan kisah-kisah beliau tentang bagaimana sih membuat ‘KRISNA’ yang dulunya belum terkenal, sampai sekarang menjadi tempat yang wajib dikunjungi bagi orang yang datang ke Bali. Kita kembali setelah yang satu ini..!”
C : “Oke Ajik, selamat datang di channel kita. Kalau biasanya anda sudah menonton Ajik di beberapa channel yang lain, mungkin anda tahu bahwa Ajik ini mempunyai masa lalu yang cukup kelam. Kalau boleh tahu, boleh diceritakan sedikit masa kecilnya itu gimana sih, Jik? Bisa diceritakan sedikit?”
A : “Masa kecil saya sudah pasti sangat berat sekali ya.. Saya lahir dari keluarga yang sangat miskin, hidup di pedesaan, dan dengan semua keterbatasan ekonomi. Karena orang tua saya adalah petani, dan ibu saya pedagang di pasar. Sehingga sehari-hari saya harus membantu orang tua.”
C : “Jadi memang seperti orang Bali pada umumnya, di pedesaan?”
A : “Kalau dilihat di kampung saya, keluarga saya yang paling miskin.”
C : “Ukurannya apa kok bisa dikatakan paling miskin?”
A : “Semiskin-miskinnya di kampung saya, paling tidak punya tempa tinggal. Punya tanah untuk tempat tinggal. Sedangkan orang tua saya sendiri tidak punya tanah. Masih pinjam. Dan bangunan rumah pun pakai bata mentah yang kalau dipegang itu goyang.”
C : “Dulu pekerjaan orang tuanya apa?”
A : “Petani. Kalau bahasa di Bali, orang yang tidak punya tanah itu ‘nyakap’ tanah orang.”
C : “Sampai begitu ya.. Lalu, punya berapa saudara, Jik?”
A : “Ajik bersaudara 7 orang. Dua dari ibu, saudara tiri ada cowok dua dan cewek empat.”
C : “Ajik nomor berapa?”
A : “Saya dari ibu yang nomor dua, cuma sendiri.”
C : “Oh, dari ibu nomor dua yang paling kecil.. Berarti memang kondisinya waktu itu sulit banget ya..”
A : “Betul-betul sangat sulit. Buat makan aja susah.”
C : “Buat makan aja susah. Jadi, anda jangan hanya melihat kisah sukses ‘KRISNA’ yang sekarang.
Tetapi di balik kisah sukses, kita sudah tahu bahwa selalu ada kisah miris di balik kesuksesan seseorang.
Akhirnya bagaimana Jik ceritanya, kok Ajik bisa meniti karir sampai sekarang? Prosesnya itu bagaimana kelanjutannya dan kondisinya?”
A : “Selama saya tinggal di kampung, karena kebetulan saya tinggal di rumah nenek/ di rumah kakek, disitu saya terpaksa setiap hari membantu kakek. Kakek itu ‘kan pembuat bata merah. Otomatis sebelum proses membuat bata merah, bata merah menjadi matang, pasti ada proses pakai kayu bakar. Kita jadi juru pikul atau lebih tepatnya jadi buruh. Jadi kuli. Intinya, dari hasil kuli itu kita bisa untuk makan, untuk beli kebutuhan.”
C : “Waktu itu usia berapa?”
A : “Masih kecil. Semenjak saya SD. Dari SD saya sudah kerja.”
C : “Dari SD sudah kerja. Dan uang sekolahnya darimana?”
A : “Uang sekolah yang pertama ya dari orang tua. Kalau ada kurangnya, ya pakai dari hasil saya jadi buruh itu. Terutama untuk uang saku ya..”
C : “Tapi tetep lulus ya sekolahnya?”
A : “Lulus pun itu dengan terpaksa.”
C : “Pernah gak naik kelas, nggak?”
A : “Puji syukur saya naik kelas terus. Lalu saya dari SD dari kelas 1, sampai kelas 4 baru bisa membaca. Karena bagaimana bisa membacanya, untuk beli buku saja susah karena keadaan ekonomi.”
C : “Teman-teman di sekolah masih enak ya, masih dibiayai orang tua..”
A : “Ya. Rata-rata masih dibiayai orang tua.”
C : “Waktu itu malu gak, Jik? Waktu sama teman-teman. Kondisi Ajik ‘kan susah. Sampai jadi buruh, sampai jadi kuli. Waktu itu diolok sama teman-teman, gak?”
A : “Enggak. Karena ekonomi di sana hampir rata-rata sama. Hanya saja kita ini udah miskin, masih juga di bawahnya lagi.”
C : “Di bawah garis kemiskinan. Di bawah bumi ceritanya ya.. Oke, selanjutnya setelah itu tamat sampai SMA ya?”
A : “Saya sekolah sampai SMP. Ketika SMP itu perjalanannya ke sekolah aja kurang lebih 2,5 kilo setiap hari.”
C : “2,5 kilo itu jalan kaki?”
A : “Jalan kaki setiap hari. Uang saku yang diberikan orang tua cuma 100 Rupiah. Itupun kadang-kadang dikasih, kadang-kadang nggak.”
C : “Kita sama , Jik. Seperti saya, sama-sama seratus ya..”
A : “Kadang-kadang dikasih, kadang-kadang nggak. Artinya dengan uang segitu, kita cukup-cukupin aja. Terpaksa kita jalan kaki. Karena uang 100 Rupiah itu bisa berguna buat beli jajan atau es. Akhirnya singkat cerita, setelah tamat sekolah sampai SMP, saya punya paman. Paman itu ingin,
‘setelah suatu ketika kamu tamat sekolah, kamu kerja di Sichuan.‘
“Sichuan itu jadi apa? Jadi tukang cuci piring. Cita-cita waktu itu pengen kerja di hotel.”
C : “Itu restoran ya?”
A : “Ya. Ceritanya saya itu cita-citanya cuma pengen kerja di hotel. Karena kalau kerja di hotel itu di zaman dulu sudah keren.”
C : “Apalagi kalau di Bali ya..”
A : “Ya. Akhirnya, saya sempat sekolah di sekolah SMIP. Sekolah Menengah Industri Pariwisata. Disitu kurang lebih 6 bulan. Uang sakunya tetap 100 Rupiah. Kadang-kadang dikasih, kadang-kadang enggak. Cuma bedanya, dulu waktu SD harus jalan 2,5 kilo itu lewat perkotaan. Kalau sekarang, sekolah di Pariwisata itu jalannya 3 kilo, lewatnya pedesaan. Disitu ada beberapa kuburan yang harus kita lewati. Artinya ‘kan sekolah sama takutnya itu beda-beda tipis. Udah kondisi lagi susah, harus ngelewatin sesuatu yang kayak kuburan lagi.”
C : “Rasanya itu antara hidup dan mati ya..”
A : “Bahkan saya sampai bosan jadi orang miskin.”
C : “Karena keadaan ya.. Jadi, mau gak mau harus begitu.”
A : “Mau gak mau, kita terpaksa sekolah. Tetapi niat sekolah udah gak ada karena situasinya seperti itu. Karena keadaan ekonominya. Disitulah awalnya karena umur orang tua yang sudah semakin tua, otomatis tenaga untuk bekerja juga semakin berat. Setelah itu orang tua saya bilang bahwa ‘Bapak sudah tidak bisa membiayai sekolah lagi’.”
C : “Pada saat itu usia berapa?”
A : “Saya tidak ingat. Tetapi kurang lebih sekitar 16-17 tahun.”
C : “Jadi miris banget ya.. Tentunya setelah proses itu, Ajik pernah gak sih sebagai seorang anak, kalau melihat orang-orang kota itu kok enak banget hidupnya ya..? Waktu itu pasti punya pemikiran dan impian seperti itu ya?”
A : “Kebetulan saya dari kecil gak tahu kota. Karena terkadang sekedar pengen tahu kota saja, fasilitas untuk kesana saja gak ada.”
C : “Atau mungkin tahunya kota dari televisi atau darimana waktu itu?”
A : “Mau nonton TV, TV aja gak punya.”
C : “TV pun gak punya. Dengerin itu.”
A : “Susah ya.. Saya kadang berpikir kota itu bagaimana, lalu bagaimana cara untuk bisa nonton TV.”
C : “Tapi Ajik merasa susah gak sih, saat itu? Atau justru sangat merasakannya?”
A : “Sangat merasakan. Sangat susah. Karena merasakan untuk makan saja susah. Sampai saya berpikir,
‘sampai kapan saya harus hidup seperti ini?’”
C : “Tetapi teman-teman ‘kan rata-rata susah juga..”
A : “Sesusah-susahnya, ‘kan masih bisa dapat uang saku dari orang tua. Ada yang makannya masih nasi putih. Kalau saya makannya kadang-kadang nasi putih, tetapi lebih sering jagung. Itupun dari hasil pertanian yang orang tua tanam. Ada jagung dan ada ubi. Setiap hari, pagi itu saya bantuin orang tua ke sawah. Di sawah itu kalau padinya sudah mulai menguning, saya harus bantu orang tua untuk mengusir burung supaya padinya gak dimakan burung. Untuk mengisi waktu itu sambil nungguin, kita terpaksa bakar-bakar ubi itu.”
C : “Seadanya ya..”
A : “Makan seadanya. Kalau sekarang sudah sukses, ubi itu ternyata sangat penting. Kalau dulu, ubi itu ‘berlebihan’ buat saya.”
C : “Anda jangan mengatakan bahwa ubi itu makanan gak bergizi loh ya..”
A : “Kalau dulu ‘jangan bosen’. Tapi kalau sekarang, rasanya pengen makan lagi. Artinya, hidup itu akan kembali lagi seperti dulu.”
C : “Kembali kepada alamnya. Kembali kepada akarnya. Orang miskin pengen hidup kayak orang kaya. Sedangkan orang kaya pengen balik lagi jadi orang miskin. Luar biasa sekali, sahabat entrepreneur..
Jadi, ini adalah sesuatu yang mungkin belum pernah anda dengar di kisah yang lain. Tetapi, dari sini kita bisa tahu. Syukurilah bahwa anda itu masih bisa makan. Dan kuncinya setelah kita tadi sharing sama Ajik, setelah usia Ajik 17 tahun, nanti kita saksikan di episode berikutnya setelah yang satu ini..”